Kamis, 06 Januari 2011

Sejarah Pewayangan


wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang, di awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animism menyembah ‘hyang’, itulah inti-nya dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala mala (masih ingat lakon ‘sudamala’, kan?)
di tahun (898 – 910) M wayang sudah menjadi wayang purwa namun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti balitung sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara (terjemahan kasaran-nya kira-kira begini : menggelar wayang untuk para hyang menceritakan tentang bima sang kumara) di jaman mataram hindu ini, ramayana dari india berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi) pada masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M
mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa raja erlangga
sampai di jaman kerajaan kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu saja, mpu panuluh lalu menyusun serat hariwangsa dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi (saya juga tidak tahu, apa arti ‘kertas jawi’ ini ) dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian
masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa
kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat ‘naik’-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’
abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu dengan mulai disusunnya berbagai mythos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa dan pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 – 1550 M ) ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran islam maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong wayang beber karya prabangkara (jaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang ditipiskan (di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan berthema sara . . . )
gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disimping sunan bonang menyusun struktur dramatika-nya sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita raden patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan
sunan kudus kebagian tugas men-dalang ‘suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan (tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan (joan crawford pun mestinya bayar royalti pada dia, nih !)
selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja
sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan jaman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata : raja dan ratu memakai mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain
di jaman ini pula lah sunan kudus memperkenalkan wayang golek dari kayu sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keratin di masa mataram islam wayang semakin berkembang
panembahan senapati menambahkan berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus sultan agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’ dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru : cakil, tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan sultan agung anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk)
setelah semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut merah bertaji seperti kuku yang akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’ (catatan hms : mungkinkah ini ada kaitannya dengan berdirinya voc di tahun 1602 ? ) berbagai inovasi dan reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari jaman mataram islam sampai jaman sekarang
a.l. dengan munculnya ide-ide ‘nyeleneh’ para dhalang berbagai peralatan elektronis mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan oleh ki dhalang, pesinden, maupun para juru karawitan dalam hal skenario-nya pun senantiasa ada pergeseran sehingga kini sudah semakin sulit dihakimi
mana yang cerita ‘pakem’ dan mana ‘carangan’ (cerita tentang asal-usul semar, misalnya, ada beberapa versi yang semuanya layak untuk dipelajari).


http://triscbn.wordpress.com/2009/09/15/sekilas-sejarah-wayang-di-indonesia/


Ki Joko Edan

(Si Dalang Kondang Asal Semarang)

Ki Joko Edan bernama asli Joko Prasojo. Kemudian ada nama lainnya lagi yang ia dapat setelah menikah,   yaitu Joko Hadiwijoyo. Pria ini lahir di Jogja, 20 Maret 1948. Dengan demikian saat ini usianya 61 tahun, dan terhitung sudah tak muda lagi.
Ki Joko Edan adalah seorang seniman wayang kulit atau lebih familiar disebut dalang. Kiprahnya pada dunia seni pantas dibilang luar biasa. Pernyataan ini terbukti dari begitu banyaknya penghargaan yang telah ia dapatkan. Salah satu prestasi yang membanggakan ialah nama dirinya tercatat di Museum Rekor Indonesia sebagai sutradara pertunjukan wayang kulit yang diisi dan atau ikut diramaikan oleh tiga puluh empat kelompok seni, yang pada waktu itu pertunjukan tersebut digelar di Gedung Wali Kota Semarang pada Juli 2005 lalu.
Joko adalah suami dari Nurhana (penyanyi), dan dari hasil pernikahan ini lahirlah dua orang putri bernama Rahayu Hana Wijayanti (SD kelas 6) dan Dewi Lestari Hana Wijayanti (SD kelas 2). Kedua putrinya ini walau masih kecil-kecil namun menurut pengakuan ayahnya sudah mulai terlihat bakat-bakat seninya. Terutama pada anaknya yang nomer dua, sudah sering meraih juara di berbagai perlombaan menyanyi. Tentu saja ini merupakan anugrah yang patut mereka syukuri.
Joko bercerita bahwa dirinya sejak dalam perut sudah dibiasakan oleh sang ayah dikenali dunia pewayangan. Kebetulan sang ayah dari dulu sampai sekarang adalah penggila yang luar biasa terhadap wayang, meski tak bisa mendalang. Dan lahirlah Joko yang akhirnya terbiasa dan senang juga dengan kesenian ini. Saat kecil dirinya suka menggambar-gambar wayang saat sekolah SD. Terlebih lagi Joko sangat senang bila ada kesempatan menonton pertunjukan wayang saat itu. Hingga jadilah saat ini dirinya menjadi dalang kondang, Ki Joko Edan.
Joko menamatkan sekolahnya hanya sampai di bangku Sekolah Dasar. Dirinya memilih lari dari bangku sekolah karena saat kelas dua SMP sempat tidak naik kelas sebanyak dua kali. Lepas dari sekolah pria ini melanjutkan perjalanan hidupnya sebagai anak jalanan. Namun setelah merasa puas mendapat pengalaman macam-macam dirinya dinasehati sang ayah dan diberi motifasi penuh untuk kembali belajar. Joko mendapat arahan untuk ikut kursus pedalangan di Ngesti Pandowo. Pria ini mengikuti kursus tersebut selama tiga tahun.
Baru saja menyelesaikan tahun pertamanya di kursus Pedalangan Ngesti Pandowo dirinya sudah mulai suka lari dari jadwal belajar yang ditentukan. Dirinya lebih memilih untuk sering-sering melihat dan mengikuti praktek pertunjukan langsung dari dalang-dalang kondang. Kemudian dari hasil banyak mengamati itu akhirnya Joko lebih mahir mendalang dan mencoba-coba berpraktek walau belum kelar betul belajarnya. Ternyata setelah dia coba, hasilnya adalah terlaksana dengan baik. Setelah itu kecintaannya semakin besar lagi pada dunia wayang ini. Pertama kali ia praktek mendalang, yaitu di rumahnya sendiri pada saat ayahnya mengadakan acara Suronan untuk warga sekitar di tempatnya. Kemudian lagi pertama kali dalang ia jalani sebagai profesi (menghasilkan materi/ ditanggap), yaitu di Tengaran, Salatiga pada acara resepsi pernikahan.
Tokoh wayang yang menjadi idola Joko Edan adalah Rahwana. Alasan dirinya menyukai Rahwana, yaitu Rahwana merupakan sosok seorang raja yang full comitmen, berprinsip kuat, berani mengambil resiko tinggi, dan tak kenal menyerah dalam pencapaian cita-citanya. Sedang cerita wayang favoritnya adalah Mahabarata, sebab kandungan cerita ini sangat kompleks, di mana ada unsur politik, ketatanegaraan, dan lain sebagainya.
Dari usia enam belas tahun sampai sekarang, tentunya KI Joko Edan sudah punya banyak sekali pengalaman-pengalaman mendalang. Ada cerita menarik, yaitu pengalaman berkesan dari dirinya. Saat itu Joko sedang ditanggap oleh Bibit Waluyo, kemudian Joko mengibaratkannya sebagai Bima, dalam jalan ceritanya ini digariskan ternyata Bima bukanlah orang yang berhak mendapat wahyu, dan kagetlah semua penonton yang hadir dalam acara hajatanya Bibit tersebut, namun dilanjutkan lagi ceritanya oleh Joko memang bukanlah Bima nama yang keluar, yang muncul dan pantas sebagai penerima wahyu adalah namanya langsung yaitu Bibit waluyo. Joko sangat senang sekali sempat sesaat membuat pejabat itu dikerjai dan berhasil membuat candaan yang menegangkan. Ada lagi pengalaman berkesan lainnya, yaitu saat dirinya tampil di daerah transmigran, yaitu di Siting, Padang. Saat itu cuaca hujan deras dan banjir lumpur lumayan tinggi, tapi penonton yang hadir begitu banyak dan membludak. Ki Joko Edan tampil di antara Persatuan masyarakat Jawa di Padang. Mungkin besar rasa rindu mereka terhadap kebudayaan asli daerahnya. Karena meski berdomisili lama di Padang, orang-orang tersebut adalah aslinya orang Jawa. Dengan melihat antusias yang sedemikian luar biasanya, Ki Joko pun berdalang dengan rasa bangga dan semangat yang besar.
Selain mendalang, Ki Joko Edan juga menguasai seni lain, yaitu musik. Pria ini trampil memainkan alat musik apapun kecuali biola, begitu menurut pengakuannya. Sedang kalau seni lukis dia berterus terang tidak bisa dan kemudian jadi tidak terlalu senang.
Dalam menjalankan pagelaran wayangnya Ki Joko Edan membawa 64 personil yang teergabung dengan nama “Wijoyo Laras”. Personil tersebut terdiri dari pengendang/ pengrawit dan suarawati/ pesinden. Untuk wilayah dalam kota Semarang, satu kali pagelaran wayang oleh Ki Joko Edan tarifnya adalah Rp.30.000.000,- sedang untuk luar kota disesuaikan jarak dan biaya transportasinya.
Belakangan ini Ki Joko Edan merambah dunia-dunia lain di luar kesenian. Dirinya ikut aktif dalam pengusahaan bangkitnya kembali kerajaan Demak, dan saat ini ia berperan sebagai penasihat raja Demak yang mudah-mudahan akan berdiri resmi sebentar lagi. Sangat terlihat sekali keaktifan dirinya mengamati bidang politik, sosial, dan budaya. Ini terlihat nyata bila kita lihat pertunjukan-pertunjukan wayang olehnya, selalu ada isu-isu hangat di masyarakat ataupun gunjang-gunjing bangsa yang ia bawa ke dalam pertunjukan wayangnya. Termasuk salah satu yang diceritakannya adalah dirinya pernah menyelipkan kasus centuri pada pertunjukan wayangnya. Walau demikian dengan seni semua itu tetap saja terasa indah, namun bermanfaat dan mengajak berfikir berbagai pihak terutama yang melihat pagelaran wayangnya tersebut.
Dirinya adalah sosok seniman yang besar sekali kepeduliannya terhadap generasi muda bangsa. Akhir-akhir ini dirinya sering diundang dalam acara seminar-seminar kampus. Seminar-seminar ini terutama membicarakan tentang budaya dan kekayaan bangsa. dirinya sangat tidak suka bila ada yang meremehkan budaya Indonesia. Joko prihatin sekali bila melihat anak-anak muda sekarang yang justru senang dan antusias terhadap budaya perayaan hari valentine, seperti ada kasus di Bali lomba ciuman sepanjang pantai yang diikuti puluhan pasangan di sana, hal demikian  padahal  sama sekali tidak sesuai dengan budaya ketimuran yang kita anut.
Dirinya pun berucap prihatin terhadap generasi muda yang selalu ribut mengantri kerja setelah lulus, bahkan telah bertitel segala macam. Dirinya berpesan bahwa berhentilah menghabis-habisi peluang/lowongan kerja tapi justru cobalah untuk membuka peluang-peluang kerja itu, untuk diri sendiri bahkan dapat untuk orang lain juga. “Hentikan segera budaya kuli”, kira-kira demikian inti penuturannya.
                

http://www.dekase.net/more-about-dekase/30-the-community/69-ki-joko-edan
s         









Sabtu, 18 Desember 2010

Ki Manteb Soedarsono

MANTEB SOEDHARSONO, KI (1948 -  ), adalah seorang dalang Wayang Kulit Purwa yang mulai terkenal sejak tahun 1980-an. Ia berasal dari daerah Ndoplang, Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Surakarta. Sebagai dalang, Manteb Sudharsono terkenal dengan sabetan-nya. Saking piawainya dia memainkan boneka wayang dengan segala variasi dan kelincahannya dia dijuluki Dalang Setan oleh para penggemarnya. Kalau sedang memainkan trik sabetan dengan cepat dan terampil layaknya sebagai tukang sulap.
Misalnya dalam ramainya perang tiba-tiba tokoh yang tadinya terdesak “sim salabim” tahu-tahu memegang senjata dan ganti memukul lawannya. Tidak ayal penontonpun memberikan aplous yang gemuruh. Menurutnya semua itu bukan sulap bukan sihir, namun karena ketekunan melatih kecepatan gerak tangan dan kemampuan mengalihkan perhatian penonton. Untuk keperluan keberhasilan sabetnya maka dia sangat kreatif dan sangat teliti mendesain wayangnya. Mulai dari ketebalan kulitnya, pola hiasannya, gapitan sampai wandanya.
Pernah dia mengganti gapit tokoh Bima sampai 16 kali, sampai tercapai kemantapan keseimbangan yang dia inginkan. Tidak jarang dia memberikan petunjuk langsung pada para pembuat wayangnya bidang mana yang harus mendapat perhatian khusus untuk ketebalan kerokan kulitnya. Misalnya untuk tokoh Arjuna dalam keperluannya perang kembang,  kalau perlu daerah pundak dan lengan atas setebal “triplek”, begitu sarannya. Untuk wayang-wayang khusus, misalnya untuk menciptakan geter, getap dan ketepatan wanda Baladewa misalnya, Pak Manteb selalu terlibat dari mulai mendesain pola, ngerok, menatah, sungging dan paling penting adalah ulat-ulatan dan tentunya gapitannya. Semuanya harus tepat dalam presisi ukuran dan rasa kemantaban seni yang tepat dan lengkap. Artinya salah satu tidak boleh meleset. Mulai bedhahan, sunggingan, ulat-ulatan dan terakhir gapitan. Dalang lain boleh menganggap remeh hal gapitan, namun dia tidak. Bisa dikatakan dia adalah seorang dalang yang sekaligus ahli dalam bidang seni rupa wayang. Pengetahuannya yang mendalam, open dan teliti  dalam bidang rupa wayang itu sangat mendukung keberhasilan pakelirannya,  terutama dalam bidang sabet.
Dalang yang telah menunaikan ibadah haji ini, mulanya belajar mendalang pada ayahnya, lalu memperda-lamnya pada Ki Nartasabda di Semarang (1972) dan Ki Ganda Sudarman di Sragen (1974). Ia mulai mendalang di muka umum sejak usia 12 tahun.
Pada tahun 1982, Man-teb menjadi juara Pakeliran Padat se-Surakarta. Sejak itu namanya mulai menanjak. Dalam pemilihan Dalang Kesayangan pada Angket Wayang 93 dalam rangka Pekan Wayang Indonesia VI, Manteb Sudharsono menduduki peringkat kedua, di bawah Ki Anom Suroto Lebdocarito.
Dalang yang setiap bulan rata-rata pentas sepuluh hari ini, pernah melawat ke Spanyol, Jerman, Amerika Serikat, Swiss, Suriname, Prancis dan Jepang.
Sejak tahun 1983, ia melakukan kegiatan pribadi, yaitu nanggap wayang di rumahnya, setiap hari Selasa Legi, bertepatan dengan hari wetonnya (weton adalah hari kelahiran menurut tradisi Jawa, diadakan setiap 35 hari). Acara ini kemudian dikenal dengan nama Malem Selasa Legen, menghadirkan dalang-dalang dari berbagai daerah. Kegiatan yang dimaksudkan untuk ikut melestarikan budaya pedalangan ini, hingga kini (1998) masih senantiasa dilakukan.
Karena pengabdiannya pada seni pedalangan, Ki Haji Manteb Soedharsono mendapat anugerah Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden.
Ki Manteb Soedharsono juga tercatat sebagai dalang yang paling laris sebagai peraga iklan radio dan televisi. Terkenal dengan slogannya “Oye”. Para penggemarnya sering memanggilnya dengan dalang oye atau dalang setan.
Pada awal 1998, Ki Manteb Soedharsono men-dalang pada pergelaran kolosal di Museum Keprajuritan Taman Mini Indonesia Indah, dengan lakon Rama Tambak. Pergelaran yang sukses ini mendapat dukungan dari pakar wayang STSI, yang menangani naskah ceritanya (Sumanto) dan tata gendingnya (B. Subono).

Hidayah Lewat Sang Buah Hati

Sang anak tak henti-hentinya mengajak dia untuk mengerjakan shalat.
Anak adalah anugerah Allah yang tak terhingga. Ia bagaikan permata dalam sebuah keluarga. Menghadirkan kesenangan dan kebahagiaan di kala susah. Dan menjadi penghibur di saat sedih. Karena itu, tak lengkap bila kebahagiaan yang dirasakan tanpa kehadiran seorang anak dalam keluarganya.
Sebagai seorang anak, sudah semestinya untuk menaati segala yang diperintahkan kedua orang tuanya, selama perintah itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Lalu, bagaimana bila anak tak mau menuruti kehendak orang tuanya, sementara orang tuanya masih belum menjalankan kewajibannya sebagai seorang Muslim? Berdosakah ia (anak itu)?
Mungkin, pertanyaan itu layak diajukan pada dalang kondang, Ki Manteb Sudarsono (60). Bagaimana tidak, bila seharusnya seorang anak berkewajiban untuk taat dan menuruti perintah orang tuanya, ternyata sang anak justru melakukan perlawanan hingga melancarkan aksi mogok.
Dan ternyata, aksi mogok anaknya itu, membuat hati Ki Manteb ‘Oye’ Sudarsono luluh. Dan ia pun ‘harus’ menuruti kemauan sang anak. Ia takluk. Padahal, dalam keseharian, sang dalang yang pernah dijuluki sebagai dalang setan ini, terbiasa tegar dan teguh saat memainkan anak wayang adegan perang tanding dalam dunia pakeliran.
Dalang kondang yang piawai dalam bidang olah sabethingga dijuluki dalang setan ini tidak kuasa menghadapi gerilya si buah hati, hingga akhirnya memeluk Islam. Perjuangan panjang ditempuh si bungsu, Danang buah perkawinan dengan Srisuwarni (almarhumah). Ketika itu, si bocah baru duduk di kelas tiga sekolah dasar (SD). Namun, bocah berperawakan mungil itu mampu meluluhkan hati sang bapak yang berhati keras dan temperamental dalam bersikap.
Menurut Ki Manteb, saat itu ia tengah duduk termenung di teras rumah di Desa Doplang, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Cuaca gerah lantaran sengatan terik matahari persis di atas ubun-ubun. Ia melihat si anak, Danang, dan bocah sebayanya, tengah berjalan kaki di pematang sawah hendak menjalankan shalat Jumat.
Wow iya, bocah semono mlaku telung kilometer turut galengan panas-panas neng desa tonggo mung arep shalat Jemuah, (Oh iya, anak segitu jalan kaki tiga kilometer di pematang sawah, panas-panas, ke desa tetangga hanya untuk melaksanakan shalat Jumat),” batinnya.
Saat itu, keimanan Ki Manteb, masih campur aduk. Islam tidak, Hindu tidak, dan Kristen juga tidak. Melihat anaknya sedang menuju masjid, terenyuh juga hatinya yang keras bagai batu itu. Ia terketuk. Dalam hatinya, ia berkata, Seandainya di dekat rumahnya ada masjid, pasti anaknya tidak lari panas-panas di pematang sawah sambil menggamit kain sarung kalau hanya untuk melaksanakan shalat Jumat.
Menjelang pelaksanaan shalat Jumat, Ki Manteb menghampiri si anak. Ia menyarankan, agar anaknya naik mobil diantar sopir menuju masjid, biar tidak kepanasan. Tak dinyana, sarannya itu ditampik sang anak. Anaknya bersikap acuh. dan mengatakan sesuatu yang sangat menusuk hatinya. ”Mending jalan. Biar jauh jaraknya ke masjid, pasti pahalanya banyak. Saya mau naik mobil, asal bapak juga ikut shalat,” tegas Danang.
Pernyataan anaknya itu, benar-benar membuatnya harus berpikir keras. Namun, tak sempat ia memberikan jawaban, sang anak sudah pergi. Tinggal dia sendiri sambil termenung. Ia membayangkan sikap anaknya yang atos (keras) seperti sikapnya selama ini. Ia merasa berat melaksanakan shalat. Jangankan shalat Jumat, shalat lima waktu lainnya pun sering ia tinggalkan.
Namun, sikap anaknya yang keras dan mengatakan hanya akan mau naik mobil kalau dia juga shalat, terus membayanginya. Ia lalu berencana untuk membangun masjid di dekat rumahnya. Tak berapa lama kemudian, rencananya itu ia wujudkan dengan membangun masjid. Apalagi, ketika itu kariernya sebagai dalang, juga makin naik pamor. Dan dalam tempo delapan bulan, berdirilah sebuah masjid. Persis di depan rumahnya.
Namun, ketika masjid sudah berdiri, bukannya tambah senang, sebaliknya ia merasa hatinya tambah gundah. Sebab, ia tidak pernah datang ke masjid. Apalagi melakukan shalat di dalamnya. Hampir setiap hari, Ki Manteb jadi bahan ejekan dan olok-olokan rekan seprofesinya. Saban pentas wayang kulit sebulan sekali,  Selasa Legenmemperingati hari kelahirannya di rumahnya, ia mesti kena sindir. Setiap dalang yang pentas mengkritik. ”Lha iya, sudah bangun masjid megahnya seperti ini,  kok belum shalat juga,” sindir para dalang itu.
Begitu juga dengan sikap Danang. Si kecil ini tak bosan-bosan mengajaknya untuk mendirikan shalat. Bahkan, si bocah yang baru kelas tiga SD itu, meminta bantuan Ki Anom Suroto salah seorang dalang senior agar membujuk bapaknya untuk shalat.
”Pakde, mbok bapak diajak shalat. Wong sudah membangun masjid, kok belum shalat juga,” rayu Danang pada Ki Anom. Dan, dalang kondang asal Solo itu pun terenyuh dengan permintaan Danang. Ia membujuk Ki Manteb untuk mendirikan shalat.
Keras bagai batuBerbagai bujukan dan rayuan, baik dari anaknya maupun rekan sesama dalang, tak menggoyahkan hati Ki Manteb untuk mengerjakan shalat. Ia malah makin kukuh pada keyakinannya. Islam tanpa harus shalat. Hatinya mengeras bagai batu karang. Tak runtuh oleh deburan ombak yang keras.
Namun, upaya Danang tak berhenti sampai di situ. Sikap keras ayahnya, ia lawan dengan keras pula. Mogok. Danang emoh pulang dan tinggal di rumah. Ia lebih memilih masjid sebagai sarana untuk mengubah sikap ayahnya.
Hari-harinya dihabiskan di masjid. Berangkat sekolah dari masjid. Pulang sekolah juga ke masjid. Tidak mau pulang ke rumah. Tidur juga di masjid. Kalau tidak dikirim  ransum (makanan–red) dari rumah, juga tidak mau makan.
Ibundanya, Srisuwarni, yang mengalah. Setiap hari, sang bunda mengirim bekal makan ke masjid untuk anak tercinta. Melihat hal ini, emosi dalang pengagum sosok Buto Cakil dan ‘Ketek’ Anoman ini, makin tak keruan. Ia dongkol campur jengkel. Ki Manteb menganggap anak  ragil (bungsu), sudah tidak bisa diatur. Batinnya muntab. ”Dasar anak kurang ajar, berani mengatur orang tua,” batin Ki Manteb.
Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga bertahun-tahun, perang urat syaraf antara anak dan bapak ini, tak berhenti juga. Belum ada gencatan senjata atau kata damai di antara keduanya. Perang terus berlanjut, hingga tiga tahun lamanya.
Selama itu pula, Ki Manteb dan anaknya neng-nengan (diam, tak bertegur sapa) dengan anaknya, Danang. Tidak ada komunikasi ini sejak Danang duduk di kelas tiga hingga kelas enam SD. ”Anak itu saya biarkan selama tiga tahun, dari 1992 sampai 1995,” ungkap Ki Manteb.
Namun, hidayah Allah SWT, akhirnya mampu membuka hati Ki Manteb yang keras bagai batu itu menjadi lembut. Ketika itu, Desember 1992, istrinya, Srisuwarni, dan kedua anaknya (Danang dan Gatot) hendak melaksanakan umrah. Mereka bertiga, hendak pamit ke Tanah Suci.
Dari sini, mulai muncul kesadaran Ki Manteb. ”Saya ini bekerja cari duit, ya untuk anak istri.  Masak, anak istri di Makkah, saya ongkang-ongkang sendirian di rumah,” ujarnya. ” Keglelengan (kesombongan) saya saat karier menanjak, duit banyak, saat itu runtuh perlahan-lahan. Ini semua karena terpengaruh anak-istri. Maka, saya memutuskan, saya harus ikut umrah juga,” lanjutnya. Ia mengaku kalah dengan sikap anaknya.
Karena itu, sebelum berangkat umrah, Ki Manteb mengikrarkan diri mengucap dua kalimat syahadat di masjid yang dibangunnya. Kalangan seniman, pejabat pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan tokoh agama diundang. Termasuk Bupati Karanganyar saat itu, Sudarmaji. Pimpinan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, KH Muhammad Amir SH, yang menuntunnya mengucapkan dua kalimat syahadat.
Semua agama
Awalnya, Ki Manteb mengaku, tak begitu yakin dengan semua agama yang ada. Baginya, agama apa pun, sama saja. Karena itu pula, ia pernah mengikuti semua agama dan aliran kepercayaan. Pernah menjadi penganut agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, maupun beragam aliran kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa (YME). Berpindah-pindah agama hal yang biasa. Dan, selalu berakhir dengan ketidakyakinan dan ketenteraman. Menurut Ki Manteb, kala itu, semua agama itu baik. Semua itu tergantung pada manusia yang menjadi penganutnya.
Namun, setelah memahami dan mendalami serta merasakan betapa kuatnya keyakinan sang anak terhadap agama Islam, ia pun merasa lebih tenteram saat menjadi seorang Muslim. ”Hati ini teduh, damai, dan pasrah pada Tuhan,” terangnya.
Maka, pada 1996, bersama keluarganya, Ki Manteb menunaikan ibadah haji. Sebelum berangkat, ia sempat mengisi pentas wayang kulit di Hari Ulang Tahun (HUT) Taman Mini Indonesia Indah (TMII) atas permintaan Pak Harto dan Ibu Tien. Ketika itu, Pak Harto mendoakannya agar menjadi haji yang mabrur. Dan saat tengah menunaikan ibadah haji, ia menerima kabar bahwa Ibu Tien Soeharto meninggal dunia.
Seusai melaksanakan rukun Islam yang kelima, ia pun menyandang predikat haji. Nama itu, ternyata menambah beban baginya. Sebab, sepulang dari haji itu, berbagai olok-olokan kembali dialaminya dari sesama dalang. Ada yang menyebutnya sebagai kaji abangan, kaji kejawen, kaji merah, kaji campur bawur, kaji etok-etokan, dan sebagainya. Namun, semua itu ia abaikan. Ia yakin, yang mengolok-olok itu belum tentu lebih baih baik dari yang diolok-olok. ”Malah  sudo (berkurang) dosanya,” katanya.
Pasrah dan Tawakkal Pada Allah
Sejak menjadi Muslim, Ki Manteb Sudarsono merasakan sebuah keajaiban dalam dirinya. Ia merasa semakin pasrah dan tawakkal kepada Allah. Dahulunya, kata Ki Manteb, hidupnya serba  kemrungsung (tergesa-gesa). ”Kalau lagi sepi  job (kerja), saya bingung, gelisah. Nanti makan dari mana, ya. Namun, sekarang lebih  semeleh(berserah diri). Ada  job atau tidak, biasa saja. Semua rezeki, Allah yang mengatur,” terangnya.
Dan, benar saja. Semua dijalani mengalir seperti air. Falsafah Jawa,  Urip iku sakdermo nglakoni (Hidup itu hanya sekadar menjalankan), terasa tepat untuknya. Kalau lagi sepi  job, justru ia manfaatkan untuk beribadah. Dan kalau lagi ramai tanggapan (permintaan), ia senantiasa ingat Allah. ”Sekarang lebih gampang bersyukur. Selalu bersikap pasrah dan berserah diri kepada yang kuasa. Hidup ini dinikmati serba tenteram dan damai selalu,” ujarnya.
Ki Manteb menyatakan, seorang dalang memiliki peran yang sangat penting. Terutama dalam upaya sosialisasi, penerangan, dan mengajak masyarakat pada kebaikan. Karena itu, dibutuhkan wawasan dan pengetahuan keagamaan untuk mengajak orang. ”Dalang mesti mampu menyampaikan pesan  amar ma’ruf nahi munkardalam dunia pekeliran,” ujarnya. Edy Setiyoko/sya/taq/republika.
Penghargaan Asia Prize
Ki Manteb Sudarsono memperoleh penghargaan bergengsi Nikkei Asia Prize untuk bidang Kebudayaan dari Nikkei, kelompok media terkemuka Jepang. Bertempat di Hotel Imperial Tokyo pada tanggal 19 Mei 2010, Nikkei memberikan penghargaan karena dedikasi Ki Manteb yang sedemikian besar dalam melestarikan dan menekuni wayang kulit. Ki Manteb dianggap sebagai legenda yang telah menyebarkan dan menyajikan pertunjukkan wayang yang memukau masyarakat tidak hanya di Indonesia namun juga di berbagai belahan dunia.
Di samping Ki Manteb, Nikkei Shimbun juga memberikan Asia Prize bagi Tony Fernandes, CEO Air Asia, untuk kategori Regional Growth dan Chen Ding-shinn, Profesor dari Taiwan National University, untuk kategori Science, Technology and Innovation. Penghargaan Nikkei Asia Prize ini merupakan yang ke lima belas kalinya diselenggarakan sebagai penghargaan atas prestasi individu atau kelompok di Asia dan bukan berasal dari Jepang.
ImagePada acara pemberian penghargaan, Ki Manteb memperoleh kesempatan untuk mendemonstrasikan keahliannya sebagai dalang wayang kulit selama 10 menit, yang merupakan tambahan waktu 10 menit yang diberikan bagi setiap peraih penghargaan untuk memberikan sambutan.
ImageDuta Besar RI untuk Jepang, Prof. Dr. Jusuf Anwar, yang hadir pada acara tersebut, mengungkapkan bahwa dengan diperolehnya Asia Award oleh KI Manteb merupakan prestasi yang amat membanggakan karena wayang kulit akan semakin populer di kalangan Internasional. Lebih lanjut Dubes RI menyampaikan selamat kepada  Ki Manteb karena dengan penghargaan yang diperolehnya telah ikut mengharumkan nama bangsa Indonesia.
Sang Dalang Setan, demikian julukan Ki Manteb Sudarsono, adalah dalang wayang kulit Jawa yang memiliki keahlian dalam yang unik dalam setiap pertunjukkan wayangnya. Julukan “seram” ini diperoleh karena Ki Manteb bisa memainkan beberapa wayang sekaligus, dengan gerakan secara cepat dan berputar-putar dalam lakon peperangan yang luar biasa mencengangkan. Bagi penikmat wayang, gerakan-gerakan tersebut dianggap luar biasa dan tidak bisa dilakukan oleh sembarang dalang, sehingga muncullah julukan Dalang Setan.

ImageImagePada malam hari setelah menerima penghargaan, Ki Manteb Sudarsono telah hadir di KBRI Tokyo dan memberikan sarasehan pedalangan dan wayang bagi masyarakat Indonesia dan seniman Jepang yang tertarik menekuni kesenian tradisional Indonesia. Ki Manteb menyampaikan dihadapan peserta sarasehan bahwa dirinya sejak dahulu berkomitmen untuk mendidik dan menghibur masyarakat melalui pewayangan. Ditambahkannya bahwa menjadi dalang yang baik harus memiliki kearifan dan pemahaman yang baik atas banyak aspek antara lain moral, sosial dan politik. Kearifan ini nantinya akan tercermin dalam setiap pagelaran yang ditampilkan.    

Nampak antusiasme dari para peserta dan kebanggaan akan penghargaan yang diterima Ki Manteb, serta kebanggaan bahwa wayang kulit, budaya khas Indonesia, mendapatkan pengakuan di dunia internasional.

Jumat, 17 Desember 2010

Ki Enthus Susmono

Ki Enthus Susmono (lahir di Tegal, 21 Juni 1966) adalah seorang dalang yang berasal dari Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Ia adalah anak satu-satunya Soemarjadihardja, dalang wayang golèk terkenal dari Tegal dengan istri ke-tiga bernama Tarminah. Bahkan R.M. Singadimedja, kakek moyangnya, adalah dalang terkenal dari Bagelen pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat di Mataram.
KI Enthus Susmono dengan segala kiprahnya yang kreatif, inovatif serta intensitas eksplorasi yang tinggi, telah membawa dirinya menjadi salah satu dalang kondang dan terbaik yang dimiliki negeri ini. Pikiran dan darah segarnya mampu menjawab tantangan dan tuntutan yang disodorkan oleh dunianya, yaitu jagat pewayangan.
Gaya sabetannya yang khas, kombinasi sabet wayang golek dan wayang kulit membuat pertunjukannya berbeda dengan dalang-dalang lainnya. Ia juga memiliki kemampuan dan kepekaan dalam menyusun komposisi musik, baik modern maupun tradisi (gamelan). Kekuatan mengintrepretasi dan mengadaptasi cerita serta kejelian membaca isu-isu terkini membuat gaya pakeliran-nya menjadi hidup dan interaktif. Didukung eksplorasi pengelolaan ruang artisitik kelir menjadikannya lakon-lakon yang ia bawakan bak pertunjukan opera wayang yang komunikatif, spektakuler, aktual, dan menghibur. Pada tahun 2005, dia terpilih menjadi dalang terbaik se-Indonesia dalam Festival Wayang Indonesia yang diselanggarakan di Taman Budaya Jawa Timur. Dan pada tahun 2008 ini dia mewakili Indonesia dalam event Festival Wayang Internasional di Denpasar, Bali.
Ia adalah salah satu dalang yang mampu membawa pertunjukan wayang menjadi media komunikasi dan dakwah secara efektif. Pertunjukan wayangnya kerap dijadikan sebagai ujung tombak untuk menyampaikan program-program pemerintah kepada masyarakat seperti: kampanye; anti-narkoba, anti-HIV/Aids, HAM, Global Warming, program KB, pemilu damai, dan lain-lain. Di samping itu dia juga aktif mendalang di beberapa pondok pesantren melalui media Wayang Wali Sanga.
Kemahiran dan ‘kenakalannya’ mendesain wayang-wayang baru/kontemporer seperti wayang Goerge Bush, Saddam Husein, Osama bin Laden, Gunungan Tsunami Aceh, Gunungan Harry Potter, Batman, wayang alien, wayang tokoh-tokoh politik, dan lain-lain membuat pertunjukannya selalu segar, penuh daya kejut, dan mampu menembus beragam segmen masyarakat. Ribuan penonton selalu membanjiri saat ia mendalang. Keberaniannya melontarkan kritik terbuka dalam setiap pertunjukan wayangnya, memosisikan tontonan wayang bukan sekadar media hiburan, melainkan juga sebagai media alternatif untuk menyampaikan aspirasi masyarakat.
Baginya, wayang adalah sebuah kesenian tradisi yang tumbuh dan harus selalu dimaknai kehadiriannya agar tidak beku dalam kemandegan. Daya kreatif dan inovasinya telah mewujud dalam berbagai bentuk sajian wayang, antara lain: wayang planet (2001-2002), Wayang Wali (2004-2006), Wayang Prayungan (2000-2001), Wayang Rai Wong (2004-2006), Wayang Blong (2007) dan lain-lain. Museum Rekor Dunia Indonesia-pun (MURI) menganugerahi dirinya sebagai dalang terkreatif dengan kreasi jenis wayang terbanyak (1491 wayang). Dan beberapa wayang kreasinya telah dikoleksi oleh beberapa museum besar di dunia antara lain; Tropen Museum di Amsterdam Belanda, Museum of Internasional Folk Arts (MOIFA) New Mexico, dan Museum Wayang Walter Angts Jerman. Semuanya tak lain dimuarakan untuk meningkatkan apresiasi masyarakat luas terhadap wayang, penajaman pasar, dan membumikan kembali wayang kulit di tanah air tercinta ini.


Kiprah Pedalangan

  • Ribuan kali pementasan pewayangan di berbagai kota di Indonesia (1986—sekarang), dengan akumulasi rata-rata setiap tahunnya sebanyak 70 pementasan
  • Menggelar Wayang Simphony di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dalam rangka Sepekan Wayang Kebangsaan (2006).
  • Melahirkan konsep Wayang Kebangsaan, sebuah konsep pagelaran wayang yang mengangkat isu-isu kebangsaan dan nasionalisme.
  • Menggelar pentas Duel Dalang Kondang: Ki Enthus & Ki Manteb, di Monumen GBN Slawi, Tegal (2007)
  • Menggelar pentas Wayang Blong, dalam event Festival Seni Surabaya (2007).
  • Mewakili Indonesia dalam event Festival Wayang Internasional di Denpasar, Bali (2008)

Wayang Spektakuler

  • Wayang Goerge Bush (2006 dan 2008)
  • Wayang Saddam Husein (2006 dan 2008)
  • Wayang Osama bin Laden (2002)
  • Wayang Gunungan Tsunami Aceh (2006)
  • Wayang Gunungan Harry Potter (2006)
  • Wayang Batman (2001)
  • Wayang Alien (2001)
  • Wayang tokoh-tokoh politik (2001—sekarang)
  • Wayang Teletubies (tahun 2001)
  • Wayang Rai Wong (tahun 2005-2006)
  • Wayang Walisanga (tahun.....)
  • Wayang planet (2001—2002)
  • Wayang Wali (2004—2006)
  • Wayang Prayungan (2000—2001)mphony (2007)
  • Wayang Blong (2007)
  • Wayang Kebangsaan (2006—sekarang)
  • Wayang Minimalis (2007)

Penghargaan

  • Dalang terbaik se-Indonesia dalam Festival Wayang Indonesia (2005)
  • Gelar Doktor Honoris Causa bidang seni budaya dari International Universitas Missouri, U.S.A Laguna College of Bussines and Arts, Calamba, Philippines(2005).
  • 2007 memecahkan Rekor Muri sebagai dalang terkreatif dengan kreasi jenis wayang terbanyak (1491 wayang).
  • Pemuda Award Tahun bidang Seni dan Budaya, dari DPD HIPMI Jawa Tengah (2005).
  • Seniman Berprestasi

Karya Dalam Museum

  • Tropen Museum di Amsterdam, Belanda
  • Museum of Internasional Folk Arts (MOIFA) di New Meksiko
  • Museum Wayang Walter Angts di Jerman

Pameran Wayang

  • Pameran Wayang bertajuk Wayang adalah Rohku dalam rangka Dies Natalis STSI Surakarta(2003).
  • Pameran Wayang Grand Launching Wayang Rai Wong di Galeri Seni Rupa Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta (2006)
  • Pameran Wayang Rai Wong, di Galeri Merah Putih, Balai Pemuda Surabaya (2006).
  • Pameran Wayang Rai Wong dalam Pekan Wayang Kebangsaan, di Galeri Cipta II TIM – Jakarta (2007).
  • Pameran bersama Wayang Indonesia, diselenggarakan oleh Museum Wayang Indonesia, di Jakarta (2007).
  • Pameran Wayang Superstar:The Theatre World of Ki Enthus Susmono , 29 Januari sampai 30 Juni 2009, di Tropen Museum-Amsterdam, Belanda.

Senin, 29 November 2010

Javanese culture

Social stratification

The famous American anthropologist Clifford Geertz in the 1960s divided the Javanese community into three aliran or "streams": santri, abangan and priyayi. According to him, the Santri followed an orthodox interpretation Islam, the abangan was the followed a syncretic form of Islam that mixed Hindu and animist elements (often termed Kejawen), and the priyayi was the nobility.[2] But today the Geertz opinion is often opposed because he mixed the social groups with belief groups. It was also difficult to apply this social categorisation in classing outsiders, for example other non-indigenous Indonesians such as persons of Arab, Chinese and Indian descent.
Social stratification is much less rigid in northern coast area, which is much more egalitarian.
Map of Javanese language distribution (in white). The homeland of the Javanese people is almost identical to the language distribution.

Art

Javanese refined art of royal court dance.
Javanese origin artforms are among the best known in Indonesia and the whole archipelago. The famous Javanese wayang puppetry culture was influenced by Hindu and Buddhist traditions. The Wayang repertoire stories, lakon, are mostly based on epics from India; Ramayana and Mahabharata. These epics and stories influenced wayang puppetry as well as Javanese classical dances. The influences from Islam and the Western world also can be found. The art of Batik and Keris dagger are among Javanese origin art expressions. Gamelan musical ensembles are found in both Java and Bali. All of these artforms holds important position, and function within Javanese culture and tradition.

Names

Javanese do not usually have family names or surnames. Many have just a single name. For example, Sukarno or Suharto. Javanese names may come from traditional Javanese languages, many of which are derived from Sanskrit. Names with the prefix Su-,which means good, are very popular. After the advent of Islam, many Javanese began to use Arabic names, especially coast populations, where Islamic influences are stronger. Commoners usually only have one-word names, while nobilities use two-or-more-word names, but rarely a surname. Due to the influence of other cultures, many people started using names from other languages, mainly European languages. Christian Javanese usually use Latin baptist names followed by a traditional Javanese name.
Some people use a patronymic. For example, Abdurrahman Wahid's name is derived from his father's name (Wahid Hasyim) who was an independence fighter and minister. In turn, Wahid Hasyim's name was derived from that of his father: Hasyim Asyari, a famous cleric and founder of the Nahdlatul Ulama organization.





http://en.wikipedia.org/wiki/Javanese_culture