Kamis, 06 Januari 2011

Sejarah Pewayangan


wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang, di awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animism menyembah ‘hyang’, itulah inti-nya dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala mala (masih ingat lakon ‘sudamala’, kan?)
di tahun (898 – 910) M wayang sudah menjadi wayang purwa namun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti balitung sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara (terjemahan kasaran-nya kira-kira begini : menggelar wayang untuk para hyang menceritakan tentang bima sang kumara) di jaman mataram hindu ini, ramayana dari india berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi) pada masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M
mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa raja erlangga
sampai di jaman kerajaan kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu saja, mpu panuluh lalu menyusun serat hariwangsa dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi (saya juga tidak tahu, apa arti ‘kertas jawi’ ini ) dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian
masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa
kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat ‘naik’-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’
abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu dengan mulai disusunnya berbagai mythos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa dan pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 – 1550 M ) ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran islam maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong wayang beber karya prabangkara (jaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang ditipiskan (di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan berthema sara . . . )
gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disimping sunan bonang menyusun struktur dramatika-nya sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita raden patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan
sunan kudus kebagian tugas men-dalang ‘suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan (tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan (joan crawford pun mestinya bayar royalti pada dia, nih !)
selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja
sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan jaman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata : raja dan ratu memakai mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain
di jaman ini pula lah sunan kudus memperkenalkan wayang golek dari kayu sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keratin di masa mataram islam wayang semakin berkembang
panembahan senapati menambahkan berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus sultan agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’ dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru : cakil, tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan sultan agung anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk)
setelah semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut merah bertaji seperti kuku yang akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’ (catatan hms : mungkinkah ini ada kaitannya dengan berdirinya voc di tahun 1602 ? ) berbagai inovasi dan reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari jaman mataram islam sampai jaman sekarang
a.l. dengan munculnya ide-ide ‘nyeleneh’ para dhalang berbagai peralatan elektronis mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan oleh ki dhalang, pesinden, maupun para juru karawitan dalam hal skenario-nya pun senantiasa ada pergeseran sehingga kini sudah semakin sulit dihakimi
mana yang cerita ‘pakem’ dan mana ‘carangan’ (cerita tentang asal-usul semar, misalnya, ada beberapa versi yang semuanya layak untuk dipelajari).


http://triscbn.wordpress.com/2009/09/15/sekilas-sejarah-wayang-di-indonesia/


Ki Joko Edan

(Si Dalang Kondang Asal Semarang)

Ki Joko Edan bernama asli Joko Prasojo. Kemudian ada nama lainnya lagi yang ia dapat setelah menikah,   yaitu Joko Hadiwijoyo. Pria ini lahir di Jogja, 20 Maret 1948. Dengan demikian saat ini usianya 61 tahun, dan terhitung sudah tak muda lagi.
Ki Joko Edan adalah seorang seniman wayang kulit atau lebih familiar disebut dalang. Kiprahnya pada dunia seni pantas dibilang luar biasa. Pernyataan ini terbukti dari begitu banyaknya penghargaan yang telah ia dapatkan. Salah satu prestasi yang membanggakan ialah nama dirinya tercatat di Museum Rekor Indonesia sebagai sutradara pertunjukan wayang kulit yang diisi dan atau ikut diramaikan oleh tiga puluh empat kelompok seni, yang pada waktu itu pertunjukan tersebut digelar di Gedung Wali Kota Semarang pada Juli 2005 lalu.
Joko adalah suami dari Nurhana (penyanyi), dan dari hasil pernikahan ini lahirlah dua orang putri bernama Rahayu Hana Wijayanti (SD kelas 6) dan Dewi Lestari Hana Wijayanti (SD kelas 2). Kedua putrinya ini walau masih kecil-kecil namun menurut pengakuan ayahnya sudah mulai terlihat bakat-bakat seninya. Terutama pada anaknya yang nomer dua, sudah sering meraih juara di berbagai perlombaan menyanyi. Tentu saja ini merupakan anugrah yang patut mereka syukuri.
Joko bercerita bahwa dirinya sejak dalam perut sudah dibiasakan oleh sang ayah dikenali dunia pewayangan. Kebetulan sang ayah dari dulu sampai sekarang adalah penggila yang luar biasa terhadap wayang, meski tak bisa mendalang. Dan lahirlah Joko yang akhirnya terbiasa dan senang juga dengan kesenian ini. Saat kecil dirinya suka menggambar-gambar wayang saat sekolah SD. Terlebih lagi Joko sangat senang bila ada kesempatan menonton pertunjukan wayang saat itu. Hingga jadilah saat ini dirinya menjadi dalang kondang, Ki Joko Edan.
Joko menamatkan sekolahnya hanya sampai di bangku Sekolah Dasar. Dirinya memilih lari dari bangku sekolah karena saat kelas dua SMP sempat tidak naik kelas sebanyak dua kali. Lepas dari sekolah pria ini melanjutkan perjalanan hidupnya sebagai anak jalanan. Namun setelah merasa puas mendapat pengalaman macam-macam dirinya dinasehati sang ayah dan diberi motifasi penuh untuk kembali belajar. Joko mendapat arahan untuk ikut kursus pedalangan di Ngesti Pandowo. Pria ini mengikuti kursus tersebut selama tiga tahun.
Baru saja menyelesaikan tahun pertamanya di kursus Pedalangan Ngesti Pandowo dirinya sudah mulai suka lari dari jadwal belajar yang ditentukan. Dirinya lebih memilih untuk sering-sering melihat dan mengikuti praktek pertunjukan langsung dari dalang-dalang kondang. Kemudian dari hasil banyak mengamati itu akhirnya Joko lebih mahir mendalang dan mencoba-coba berpraktek walau belum kelar betul belajarnya. Ternyata setelah dia coba, hasilnya adalah terlaksana dengan baik. Setelah itu kecintaannya semakin besar lagi pada dunia wayang ini. Pertama kali ia praktek mendalang, yaitu di rumahnya sendiri pada saat ayahnya mengadakan acara Suronan untuk warga sekitar di tempatnya. Kemudian lagi pertama kali dalang ia jalani sebagai profesi (menghasilkan materi/ ditanggap), yaitu di Tengaran, Salatiga pada acara resepsi pernikahan.
Tokoh wayang yang menjadi idola Joko Edan adalah Rahwana. Alasan dirinya menyukai Rahwana, yaitu Rahwana merupakan sosok seorang raja yang full comitmen, berprinsip kuat, berani mengambil resiko tinggi, dan tak kenal menyerah dalam pencapaian cita-citanya. Sedang cerita wayang favoritnya adalah Mahabarata, sebab kandungan cerita ini sangat kompleks, di mana ada unsur politik, ketatanegaraan, dan lain sebagainya.
Dari usia enam belas tahun sampai sekarang, tentunya KI Joko Edan sudah punya banyak sekali pengalaman-pengalaman mendalang. Ada cerita menarik, yaitu pengalaman berkesan dari dirinya. Saat itu Joko sedang ditanggap oleh Bibit Waluyo, kemudian Joko mengibaratkannya sebagai Bima, dalam jalan ceritanya ini digariskan ternyata Bima bukanlah orang yang berhak mendapat wahyu, dan kagetlah semua penonton yang hadir dalam acara hajatanya Bibit tersebut, namun dilanjutkan lagi ceritanya oleh Joko memang bukanlah Bima nama yang keluar, yang muncul dan pantas sebagai penerima wahyu adalah namanya langsung yaitu Bibit waluyo. Joko sangat senang sekali sempat sesaat membuat pejabat itu dikerjai dan berhasil membuat candaan yang menegangkan. Ada lagi pengalaman berkesan lainnya, yaitu saat dirinya tampil di daerah transmigran, yaitu di Siting, Padang. Saat itu cuaca hujan deras dan banjir lumpur lumayan tinggi, tapi penonton yang hadir begitu banyak dan membludak. Ki Joko Edan tampil di antara Persatuan masyarakat Jawa di Padang. Mungkin besar rasa rindu mereka terhadap kebudayaan asli daerahnya. Karena meski berdomisili lama di Padang, orang-orang tersebut adalah aslinya orang Jawa. Dengan melihat antusias yang sedemikian luar biasanya, Ki Joko pun berdalang dengan rasa bangga dan semangat yang besar.
Selain mendalang, Ki Joko Edan juga menguasai seni lain, yaitu musik. Pria ini trampil memainkan alat musik apapun kecuali biola, begitu menurut pengakuannya. Sedang kalau seni lukis dia berterus terang tidak bisa dan kemudian jadi tidak terlalu senang.
Dalam menjalankan pagelaran wayangnya Ki Joko Edan membawa 64 personil yang teergabung dengan nama “Wijoyo Laras”. Personil tersebut terdiri dari pengendang/ pengrawit dan suarawati/ pesinden. Untuk wilayah dalam kota Semarang, satu kali pagelaran wayang oleh Ki Joko Edan tarifnya adalah Rp.30.000.000,- sedang untuk luar kota disesuaikan jarak dan biaya transportasinya.
Belakangan ini Ki Joko Edan merambah dunia-dunia lain di luar kesenian. Dirinya ikut aktif dalam pengusahaan bangkitnya kembali kerajaan Demak, dan saat ini ia berperan sebagai penasihat raja Demak yang mudah-mudahan akan berdiri resmi sebentar lagi. Sangat terlihat sekali keaktifan dirinya mengamati bidang politik, sosial, dan budaya. Ini terlihat nyata bila kita lihat pertunjukan-pertunjukan wayang olehnya, selalu ada isu-isu hangat di masyarakat ataupun gunjang-gunjing bangsa yang ia bawa ke dalam pertunjukan wayangnya. Termasuk salah satu yang diceritakannya adalah dirinya pernah menyelipkan kasus centuri pada pertunjukan wayangnya. Walau demikian dengan seni semua itu tetap saja terasa indah, namun bermanfaat dan mengajak berfikir berbagai pihak terutama yang melihat pagelaran wayangnya tersebut.
Dirinya adalah sosok seniman yang besar sekali kepeduliannya terhadap generasi muda bangsa. Akhir-akhir ini dirinya sering diundang dalam acara seminar-seminar kampus. Seminar-seminar ini terutama membicarakan tentang budaya dan kekayaan bangsa. dirinya sangat tidak suka bila ada yang meremehkan budaya Indonesia. Joko prihatin sekali bila melihat anak-anak muda sekarang yang justru senang dan antusias terhadap budaya perayaan hari valentine, seperti ada kasus di Bali lomba ciuman sepanjang pantai yang diikuti puluhan pasangan di sana, hal demikian  padahal  sama sekali tidak sesuai dengan budaya ketimuran yang kita anut.
Dirinya pun berucap prihatin terhadap generasi muda yang selalu ribut mengantri kerja setelah lulus, bahkan telah bertitel segala macam. Dirinya berpesan bahwa berhentilah menghabis-habisi peluang/lowongan kerja tapi justru cobalah untuk membuka peluang-peluang kerja itu, untuk diri sendiri bahkan dapat untuk orang lain juga. “Hentikan segera budaya kuli”, kira-kira demikian inti penuturannya.
                

http://www.dekase.net/more-about-dekase/30-the-community/69-ki-joko-edan
s